Template by:
Free Blog Templates

Monday, April 2, 2012

Penantang Maut


      Maut adalah hal yang tidak bisa terpisah oleh hidup, semua yang hidup pasti nanti akan mengalami maut, termasuk aku. Maut juga hal yang paling ditakuti oleh setiap mahluk hidup, terutama manusia, karena maut adalah batas akhir tingkah lakunya di dunia.
            Sebagian dari penduduk masyarakat Bulu masih percaya dengan keyakinan nenek moyang, yakni Animisme dan Dinamisme, pecaya pada roh dan percaya pada benda – benda yang dianggap keramat.
            Kami anak SMP Muhammadiyah 3 Bancar terutama kelompok Nur Sulikhin dan kawan – kawan sudah tak percaya dengan hal – hal seperti itu. Memang hal seperti itu ada tapi kami tak terlalu meyakininya, uji mental yang sering dilakukan pihak sekolah saat tengah malam di tempat – tempat asing seperti di makam membuat mental – mental kami bertambah kebal.
            Waktu istirahat telah tiba saatnya kami untuk sholat duha, kegiatan rutin yang kami lakukan setiap waktu istirahat, setelah selesai sholat duha biasanya aku dan teman – teman menghabiskan waktu istirahat kami dengan bermain atau berkumpul dibawah pohon besar depan sekolah, tapi untuk kali ini bukan itu yang bakal kami lakukan, kami berjalan keluar dari area sekolah dan menuju makam yang berada di samping sekolah kami, kami masuk makam sambil mencari buah – buahan yang sudah matang seperti yang biasa kami lakukan saat menunggu waktu les tiba, kadang kami juga menghancurkan tempat – tempat sesaji yang berada diatas makam orang – orang tertentu.
            “He, Cing jangan dihancurkan kendi itu, nanti kesurupan kamu” kata salah satu temanku ke Cak Cing atau Nur Sulikhin
            “Gak peduli” kata Cak Cing
            Setiap ada tempat – tempat sesaji pasti dihancurkan oleh teman – teman terutama si Cak cing. Sambil mengangkat tempat sesaji kemudian melempar ke atas dan menendangnya, tindakan Cak Cing membuat mentalku semakin tebal aku mulai ikut aksi mereka di makam ini, sementara kulihat Toler yang sedang asik mengambil buah sirikaya yang sudah matang, dengan tinggi badanya yang hampir dua meter membuatnya dengan mudah mengambil buah sirikaya yang berada di ranting – ranting atas, sementara Roghib lebih konyol lagi dia mengambil tempat nama yang bisa di copot disalah satu makam dan menggantinya dengan nama Toler.
            “He, ga dihapus” bentak Toler yang kebetulan tau aksi Roghib
            “Hahahahaha……..” semua teman – teman yang tau tertawa terbahak bahak
            “Sudahlah bagus Ler” kata Roghib yang merayu Toler
            “Bagus apanya, hapus” suruh Toler
            Roghib segera menghapus tulisan itu, setelah lumayan lama kita bermain – main di makam, bel berbunyi tanda masuk sekolah. Kami berlari dan segera masuk sekolah karena takut ketahuan guru, sementara Toler yang membawa sepeda ontelnya untuk masuk makam tadi keluar dengan terburu – buru sampai – sampai dia menabrak patok kuburan atau pembatas makam seseorang yang sudah keropos dimakan umur sampai roboh, Toler kemudian membangunkan patok tersebut.
            “Maaf ya mbah” kata Toler yang agak takut
            Di kelas kami ngos – ngosan, tapi hari ini tak perlu kawatir akan kelaparan, uang jajan kami hari ini bakalan utuh, berkat usaha Toler kami mendapatkan satu tas buah sirikaya yang bakal kami makan bersama – sama. Kelakuan anak – anak gila ini membuat heran penduduk sekitar yang tau, sepertinya tak takut dengan maut. Kami tau tempat itu adalah tempat angker, bukan membuat kami takut tapi justru membuat kami semakin kuat untuk mencobanya.
            Pulang sekolah dengan canda tawa, berjalan ke arah utara kurang lebih 100 meter, tepatnya di perempatan kami bertemu dengan sesaji yang baru dipasang, semua lengkap, Toler yang tau segera menghampiri dan dia membuka tempat sesaji itu dan sambil memilih – milih benda yang ada ditempat sesaji itu, layaknya danyang atau penunggu perempatan itu.
            “He, Tomi apa yang kamu lakukan?” Tanya salah satu teman perempuan kami
            “Sudahlah diam saja” kata Toler
            Setelah dia membuka – buka sesaji itu akhirnya dia menemukan yang dia cari, dia mengambil uang dan telur mentah yang ada disitu.
            “Lumayan buat jajan” kata Toler
            Setelah Toler pergi dari sesaji dari belakang gerombolanku bersama dengan Cak Cing mengacak – acak sesaji itu dan menendang tempatnya hingga hancur.
            Beberapa hari setelah kejadian itu aku, Roghib dan Gandul berencana memancing, kami akan memancing dibawah jembatan desa Tergambang yang konon katanya jembatan ini juga angker, tapi kami tak peduli kami tetap mancing disitu, rasa penasaran tentang angkernya jembatan Tergambang ini membuatku untuk menjelajahi tempat ini, aku berjalan ke timur mengikuti aliran air ini kira – kira 50 meter, tak kusangka aku melihat ada kubangan seperti danau di tengah – tengah sungai ini, dengan samping kanan – kiriku yang penuh dengan pepohonan yang besar dan lebat membuatku ketakutan dan segera aku kembali.
            Hari berikutnya aku dan Roghib akan pergi memancing lagi di bawah jembatan desa Boncong yang berada di sebelah timur desa kami. Gandol tak mau ikut mungkin takut karena disini lebih angker dari di jembatan Tergambang, jembatan yang berada dijalan raya ini kelihatan biasa – biasa saja tapi banyak kejadian aneh yang ada disini, jarak jembatan Boncong ini dengan rumah penduduk kira – kira 100 meter, dan yang bikin takut adalah jembatan ini di dampingi dua makam yang berada di sebelah utara dan selatan jalan raya yang jarang dijamah manusia.
            Walau ceritanya menakutkan tapi aku dan Roghib tetap berangkat. Kami berangkat naik sepeda ontel dengan perjalanan kurang lebih 15 menit perjalanan dari rumah, sampai di jembatan kami aku langsung turun bersama dengan Roghib, tak lupa sepeda kami juga kami bawa turun.
            Air yang menggenang dan ikan – ikan yang berlompatan seakan tak pantas jika tempat ini adalah tempat angker yang ditakuti penduduk sekitar, tapi ketika kami mendengar suara diatas kami, suara mobil – mobil yang lewat menggetarkan hatiku dan merubah pendapatku kalau jembatan ini memang pantas jika ditakuti keangkeranya. Aku membayangkan jika jembatan ini ambrol, kami pasti akan mati tertimpa bangunan – bangunan diatas kami.
            Kami tau angker identik dengan maut tapi bagiku maut tak seharusnya untuk ditakuti, berkat teman – teman gilaku yang setiap istirahat bermain – main di makam membuat penduduk sekitar tak takut lagi dengan keangkeran makam yang berada disebelah sekolahku, bahkan sekarang Toler ada saingannya saat mengambil        buah – buahan terutama buah Sirikaya, penduduk sekitar aku lihat sudah mulai berani mengambil buah Sirikaya yang ada di kuburan, tapi aku tetap menjagokan temanku Toler yang tingginya tak ada yang nandingi di desaku.
            Kami hanya ingin menunjukkan kalau tak perlu untuk ditakuti, takut atau tidak takut kita tetap akan menghadapinya. Kami adalah anak – anak gila, gila untuk menantang maut.

0 comments:

Post a Comment