Template by:
Free Blog Templates

Wednesday, April 23, 2014

Pendidikan Indonesia Setengah Matang




Bicara soal pendidikan aku merasa muak, bahkan aku sudah tak peduli lagi, apakah aku tergolong orang berpendidikan atau tidak. Di desa tempat tinggalku semua setara semua terlihat sama tanpa perbedaan terutama ketika mereka sama-sama bergelut dengan amisnya ikan, terjangan ombak dan sorak sorai tanpa mengenal tata krama dalam berkata.

Suatu malam ketika ada seorang cewek mengirim pesan singkatnya ke ponselku, dia berkata “Aku ingin menjadi menteri pendidikan”, senyum sinis, itu tanggapan pertamaku ketika membaca SMS tersebut, “Silahkan tapi jangan rubah sistem pendidikan yang sudah berjalan” itu balasan yang aku kirimkan, dengan rasa penasaran diapun kembali bertanya “Kenapa?”, aku yang awalnya ingin tidur lebih cepat akhirnya harus kembali bergadang dengan sejumlah argumen-argumen yang aku perdebatkan masalah pendidikan, “Siapapun boleh menjadi menteri pendidikan, tapi jangan rubah sistem pendidikan yang telah berjalan, kenapa? Kalau merubah sistem maka harus kembali dari awal, memperbarui dari awal lagi dan itulah yang membuat pendidikan Indonesia hanya setengah matang malah cenderung tak pernah matang” jawabku, “Apa maksudnya, aku masih bellum faham”. Akhirnya akupun benar-benar tak jadi tidur lebih cepat, dimalam yang hening dengan kondisi kamarku yang petang aku terpaksa membuka argumenku tentang pendidikan Indonesia yang aku anggap suram.

“Dulu ada yang namanya KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), kemudian ada lagi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan besok ada lagi Kurikulum 2014, ribet Indonesia ini, ketika pengajar mulai menerapkan sistem pendidikan KBK dan sudah berjalan lumayan lama, dengan tiba-tiba diganti dengan sistem pendidikan KTSP maka pola pikir dan pola mengajarnya harus diganti juga, KBK yang baru setengah jalan terpaksa harus diganti dengan KTSP, artinya sistem pendidikan di Indonesia gak ada yang diterapkan secara maksimal, ibarat sepak bola terlalu banyak pergantian strategi dengan pelatih-pelatih yang berbeda dalam sebuah kompetisi yang belum usai” Jelasku, “Menurutmu sistem pendidikan apa yang cocok untuk Indonesia?”, dengan menahan ngantuk akupun menjawab “Terserah tapi yang jelas jangan di gonta ganti, biarkan pengajar (input) menguasai sistem pendidikan tersebut sampai hasilnya murid-murid (output) bisa menerima dengan jelas apa yang telah diajarkan, jika output tidak bekerja secara maksimal yang patut disalahkan adalah input, ada apa dengan inputnya? Pendidikan yang hebat bukan berarti pendidikan yang harus bergonta-ganti sistemnya tapi juga perlu adaptasi dan penyesuaian untuk memahami sitem tersebut dan itu perlu waktu yang lama”. Ternyata penjelasanku itu adalah akhir dari perdebatanku malam itu, dengan otak yang masih terbayang-bayang soal pendidikan akupun tertidur dengan lelap.

Beberapa hari berselang aku sudah lupa tentang pendidikan-pendidikan yang aku perdebatkan malam itu, dan sekarang mungkin semua orang sudah mulai menganggap aku sebagai bocah yang lahir tanpa pendidikan, kebanyakan mereka memandang tingkat pendidikan itu diukur dari tingkat tamat sekolah bukan dari hasil eksplorasi ilmu-ilmu yang pernah mereka dapat. Mungkin di mata orang-orang sekitar aku hanya manusia yang tingkat pendidikannya rendah, tapi menurutku itu wajar karena aku hanya lulusan Sekolah Menengah Atas, berbeda dengan anak-anak sekarang yang merengek, menangis menginginkan bangku kuliah. Tapi perlu mereka tau bahwa sekarang aku juga sedang kuliah, Kuliah Alam, Fakultas Pemberdayaan Masyarakat, mata kuliah Sosialisasi antar sesama tanpa membedakan Golongan, Agama, maupun keturunan. HIsyam Noer, 24 April 2014