Bicara soal pendidikan aku merasa
muak, bahkan aku sudah tak peduli lagi, apakah aku tergolong orang
berpendidikan atau tidak. Di desa tempat tinggalku semua setara semua terlihat
sama tanpa perbedaan terutama ketika mereka sama-sama bergelut dengan amisnya
ikan, terjangan ombak dan sorak sorai tanpa mengenal tata krama dalam berkata.
Suatu malam ketika ada seorang
cewek mengirim pesan singkatnya ke ponselku, dia berkata “Aku ingin menjadi
menteri pendidikan”, senyum sinis, itu tanggapan pertamaku ketika membaca SMS
tersebut, “Silahkan tapi jangan rubah sistem pendidikan yang sudah berjalan”
itu balasan yang aku kirimkan, dengan rasa penasaran diapun kembali bertanya
“Kenapa?”, aku yang awalnya ingin tidur lebih cepat akhirnya harus kembali
bergadang dengan sejumlah argumen-argumen yang aku perdebatkan masalah
pendidikan, “Siapapun boleh menjadi menteri pendidikan, tapi jangan rubah
sistem pendidikan yang telah berjalan, kenapa? Kalau merubah sistem maka harus
kembali dari awal, memperbarui dari awal lagi dan itulah yang membuat
pendidikan Indonesia hanya setengah matang malah cenderung tak pernah matang” jawabku,
“Apa maksudnya, aku masih bellum faham”. Akhirnya akupun benar-benar tak jadi
tidur lebih cepat, dimalam yang hening dengan kondisi kamarku yang petang aku
terpaksa membuka argumenku tentang pendidikan Indonesia yang aku anggap suram.
“Dulu ada yang namanya KBK
(Kurikulum Berbasis Kompetensi), kemudian ada lagi KTSP (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan) dan besok ada lagi Kurikulum 2014, ribet Indonesia ini,
ketika pengajar mulai menerapkan sistem pendidikan KBK dan sudah berjalan
lumayan lama, dengan tiba-tiba diganti dengan sistem pendidikan KTSP maka pola
pikir dan pola mengajarnya harus diganti juga, KBK yang baru setengah jalan
terpaksa harus diganti dengan KTSP, artinya sistem pendidikan di Indonesia gak
ada yang diterapkan secara maksimal, ibarat sepak bola terlalu banyak
pergantian strategi dengan pelatih-pelatih yang berbeda dalam sebuah kompetisi
yang belum usai” Jelasku, “Menurutmu sistem pendidikan apa yang cocok untuk
Indonesia?”, dengan menahan ngantuk akupun menjawab “Terserah tapi yang jelas
jangan di gonta ganti, biarkan pengajar (input) menguasai sistem pendidikan
tersebut sampai hasilnya murid-murid (output) bisa menerima dengan jelas apa
yang telah diajarkan, jika output tidak bekerja secara maksimal yang patut
disalahkan adalah input, ada apa dengan inputnya? Pendidikan yang hebat bukan
berarti pendidikan yang harus bergonta-ganti sistemnya tapi juga perlu adaptasi
dan penyesuaian untuk memahami sitem tersebut dan itu perlu waktu yang lama”.
Ternyata penjelasanku itu adalah akhir dari perdebatanku malam itu, dengan otak
yang masih terbayang-bayang soal pendidikan akupun tertidur dengan lelap.
Beberapa hari berselang aku sudah
lupa tentang pendidikan-pendidikan yang aku perdebatkan malam itu, dan sekarang
mungkin semua orang sudah mulai menganggap aku sebagai bocah yang lahir tanpa
pendidikan, kebanyakan mereka memandang tingkat pendidikan itu diukur dari
tingkat tamat sekolah bukan dari hasil eksplorasi ilmu-ilmu yang pernah mereka
dapat. Mungkin di mata orang-orang sekitar aku hanya manusia yang tingkat
pendidikannya rendah, tapi menurutku itu wajar karena aku hanya lulusan Sekolah
Menengah Atas, berbeda dengan anak-anak sekarang yang merengek, menangis
menginginkan bangku kuliah. Tapi perlu mereka tau bahwa sekarang aku juga
sedang kuliah, Kuliah Alam, Fakultas Pemberdayaan Masyarakat, mata kuliah
Sosialisasi antar sesama tanpa membedakan Golongan, Agama, maupun keturunan. HIsyam
Noer, 24 April 2014