Bulan Puasa Tahun 1434 H ini
tampak lain, terutama aktifitas Omen yang terlihat lebih amburadul daripada
Bulan Ramadhan tahun lalu, bagaimana tidak Omen malah makin sering rembes,
Ora tau adus, padahal aktifitasnya Cuma itu-itu saja.
Dari pagi sampai sore selalu
nongkrongin komputer, habis itju klayapan sambil nunggu buka puasa, ketika
magrib datang dia hanya ambil air wudhu kemudian sholat magrib, itupun belum
mandi seharian. Kumandang adzan Isya’ baru dia berangkat ke kamar mandi.
“He Men, ayo sholat taraweh?”
kata Gemblung yang kebetulan lewat depan rumah Omen
“Oke tapi kamu tunggu aku mandi
dulu ya” kata Omen
“Heh…. Kamu belum mandi toh??
Nunggu kamu mandi sama dengan ngajak aku gak sholat”
“Kok Bisa?”
“Lo iya, la wong mandimu iku
koyok kodok seng ngerti banyu, ora mentas-mentas”
“Oalah… bejajil siji iki ono
ae, ya sudah kalau begitu, selesai sholat mampir kesini ya, kita ngobrol”
Gemblung berangkat Sholat
sementara Omen berangkat mandi dan sekitar se jam kemudian mereka berkumpul
kembali di rumah Omen.
“Eh Mblong sholatmu lama banget?”
Tanya Omen
“Wah Imamnya orang arab, kita
baru sholat Taraweh eh tetangga sebelah sudah selesai” kata Gemblung
“Beneran?”
“Kamu tau Saprol kan, anaknya Bapak
Darsu yang akan pergi ke Arab?”
“Oh dia yang jadi imam?”
“Iya, lama banget kayak orang di
hukum waktu upacara bendera saja”
“Kok bisa Blung?”
“Pokoknya temponya lama banget,
katanya sih Tumakninah, bener ya Men, itu yang dinamakan Tumakninah?”
“Wah bahas Tumakninah lagi”
“Yes No What What, Yo gak opo opo, Tumakninah jilid 2”
“Koyok pariane SeBeYe ae, pakai jilid dua segala”
“Gimana masalah Tumakninah?”
“Di Indonesia daerah jawa timur
khususnya di desa kita ini sulit kalau kamu mau sholat secara Tumakninah”
“Kok bisa?”
“Kalau menurut saya ada tiga
masternya ilmu-ilmu yang ada di dunia ini, pertama istiqomah, kedua Syukur dan
yang ke tiga ini Tumakninah, jadi Tumakninah itu tingkatan paling tinggi dan
tumakninah itu ada beberpa versi yang berbeda-beda di tiap-tiap manusia,
contohnya Mas Saprol, dia tipe orang yang betah kalau disuruh sholat dengan
tempo lama, sementara kamu berada di versi sebaliknya, tapi mas Saprol gak
cocok kalau dijadikan imam di desa kita, niatnya ingin mengajak kita menuju
jalur surga tapi hasilnya dia malah menjegal kita untuk masuk surga” jelas Omen
“Loh kok bisa gitu?”
“Seperti yang kamu bilang tadi,
kamu mengerti tetangga sebelah sudah selesai taraweh sedangkan keadaan kamu
masih sholat taraweh, artinya konsentrasi sholat taraweh kamu sudah buyar, itu
baru perasaanmu, terus perasaan jama’ah yang lain yang tak suka dengan gaya
sholat tempo lama pasti berbeda, mungkin hati mereka grundel ketika sholat tak
menutup kemungkinan juga ada yang misuh ketika sholat, contohnya seperti ini,
kita sholat baru nyampai di.. Waladdollin…. Amin….., sementara kita mendengar
masjid lain sudah selesai, mungkin ada yang mengatakan Jancuk or rampung-rampung, Terus kalau tempo terlalu cepat juga gak
pas, mungkin orang-orang tua akan mengatakan pateni ae cung aku timbang mbok kon sholat model ngeneki, Tempo
yang terlalu lama dan tempo yang terlalu cepat itu juga bisa memangkas jama’ah
masjid dari hari ke hari, lama kelamaan jama’ah masjid pasti makin berkurang,
jadi untuk di desa kita ini lebih baik pakai tempo yang sedang saja” Kata Omen
lagi
“Itu baru kendala di bagian Imam
dan masjid, masak satu Desa masjidnya lebih dari tiga, berdekatan lagi, tiap
hari saingan adzan, saingan pidato, sana pidato sini adzan, sampai saya kadang
sempat bingung ketika sholat jum’at, mau saya jawab adzan tapi ada orang
kotbah, mau dengarkan kotbah tapi ada adzan menggelegar kok gak di jawab, terus
kendala yang lain kendaraan dengan suara-suara keras mereka berlalu lalang, gak
peduli ada orang sholat atau tidak, wang… weng.. wang.. weng.., tapi yang lebih
parah adalah maraknya petasan, eh ada orang sholat tiba-tiba diluar anak-anak
bermain petasan bikin orang jantungan saja, pokoknya susah mau sholat
tumakninah di desa ini” tambah Omen lagi
“Tengah malam dong” bantah
Gemblung
“Tetap gak bisa, jam 12
malam sampai jam 3 anak-anak sudah
berlalu lalang main tongklek dan petasan, belum lagi anak-anak yang jagongan di
tiap pinggiran jalan sambil main gaplek sambil nunggu sahur”
“Terus bagaimana dong?” Tanya
Gemblung
“Istiqomah saja, lakuin apa yang
kamu bisa, apa yang kamu mampu, mau niru jaman Nabi susah disini, Nabi di
daerahnya mungkin Cuma ada satu masjid, ada lagi mungkin juga jauh, kendaraan
juga paling unta atau keledai jadi tak terlalu berisik, petasan juga tak ada,
coba bayangkan kalau jaman nabi ada kendaraan kayak sekarang juga ada petasan,
bisa jadi Umar bin Khatab mainanya petasan sambil trak-trakan ketika belum
masuk islam, dan nabi gak akan tenang ketika sholat, bisa-bisa dilempari
petasan terus” Kata Omen
“Hahaha… ada saja kamu” sahut
Gemblung
“Makanya Istiqomah dulu tapi di
imbangi dengan syukur, kalau gak di imbangi bisa mbedugal kamu, kalau itu
sudah bisa kamu kuasai pasti nanti bisa Tumakninah” kata Omen
“Iyo mbedugal koyok raimu… haahaha” sahut Gemblung
“Asem ki” Omen […]