Template by:
Free Blog Templates

Saturday, January 11, 2014

MUHAMMADIYAHKU MENANGIS


Menengok dari latar belakang pendidikan saya, saya adalah asli berpendidikan Muhammadiyah, jebolan anak didik Muhammadiyah, tengok saja mulai dari Taman Kanak-Kanak saya, dari kecil saya sudah berada di Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Atfal 3 di Desa saya, ke jenjang yang lebih tinggi saya tetap berada di pendidikan Muhammadiyah yakni di Sekolah Dasar Muhammadiyah 1 Bancar, diatas pendidikan Sekolah Dasar saya masih setia dengan pendidikan Muhammadiyah dan Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah 3 Bancar adalah pijakan otak saya setelah menempuh Sekolah Dasar selama 6 tahun, ternyata nasib tak membiarkan saya untuk keluar dari pendidikan Muhammadiyah, di Sekolah Menengah Atas lagi-lagi saya harus mendekam dalam pendidikan Muhammadiyah dan SMA Muhammadiyah 3 Bancar adalah tempat berlabuh saya selama 3 tahun. Dan usai dari SMA saya memutuskan untuk berhenti sekolah.

Banyak, bukan, terlalu banyak mungkin yang diberikan Muhammadiyah kepada saya, Muhammadiyah menggodok otak saya terlau kritis, sampai-sampai setiap harinya saya selalu memunculkan opsi-opsi tertentu untuk setiap kejadian yang saya saksikan.

Muhammadiyah meninggalkan beberapa kalimat inspirasi di otak saya dan salah satunya yang masih membekap otak saya adalah kalimat “Hidupilah Muhammadiyah dan Jangan Cari Hidup di Muhammadiyah”, kata-kata yang hebat mudah diucapkan tapi sulit diamalkan.

Sering saya mendengar kata-kata itu keluar dari para petinggi-petinggi Muhammadiyah tapi sayang itu hanya sebuah kata-kata dan tak berlaku buat kehidupannya. Saya mendengar kawan saya yang notabennya juga lulusan Muhammadiyah ketika SMP di lempari kata-kata tersebut dan dia cuma diam saja. Aku yang mendengarnya sangat risih, kenapa kata-kata itu dilemparkan kepada kami yang masih terpandang anak-anak kecil dimatanya, kenapa kata-kata itu tak dilemparkannya kepada pengurus Muhammadiyah yang lain yang lebih memilih menyekkolahkan anaknya di luar pendidikan Muhammadiyah, apa kata-kata itu tak berlaku untuk sesama pengurus?, apa kata-kata itu untuk anak-anak kecil seperti kami?. Bagaimana kader Muhammadiyah akan bermunculan kalau petinggi-petinggi Muhammadiyah sendiri seakan-akan enggan menyekolahkan anaknya di lembaga Muhammadiyah, Khususnnya yang ada di Desa saya.

Lembaga besar, yang memiliki amal usaha begitu banyak dan dengan kepengurusan yang begitu kreatifnya yang seperti saya katakan diatas, sungguh ironi, kasihan Muhammadiyahku menangis.

Meski sekarang saya sudah tak aktif lagi dalam corat coret kepengurusan Muhammadiyah tapi ketika telinga ini mendengar sesuatu yang kiranya berdampak negatif pada Muhammadiyah, maka hati saya akan terketuk pada sendirinya. Ada seorang sahabat saya (anak didik Muhammadiyah) yang sempat mengadu kepada saya ketika ia melamar menjadi seorang pengajar dalam salah satu lembaga pendidikan Muhammadiyah.

“Saya pernah melamar di salah satu lembaga pendidikan milik Muhammadiyah untuk menjadi pengajar, tapi saya tidak diterima, katanya tak ada lowongan” Katanya
“Belum rejekimu kawan” balas saya
“Tapi kenapa ketikka ada anak pengurus Muhammadiyah yang melamar di tempat yang sama, langsung diterima?” Balas dia
Dengan nada sindiran aku mencoba menjawab “Lembaga pendidikan Muhammadiyah itu bukan milik kader-kader busuk macam kita ini, tapi milik anak pengurus, jadi kamu gak usah heran kalau tidak diterima menjadi seorang pengajar”
“Andai kamu ditawari untuk jadi pengurus di Muhammadiyah apa yang akan kamu lakukan?” tanya dia
“Entah sudah berapa undangan dari Pemuda Muhammadiyah yang saya abaikan, saya tak akan masuk kepengurusan Muhammadiyah, saya akan terus abaikan undangan-undangan itu kalau kalian juga terus di abaikan oleh Muhammadiyah, tapi jujur saya berterima kasih kepada Muhammadiyah yang sudah mendidik saya selama 12 tahun lebih, yang telah membuat otak saya bisa berfikir seperti ini” Jawab saya. Hisyam Noer, 12 Januari 2014