Menengok dari latar
belakang pendidikan saya, saya adalah asli berpendidikan Muhammadiyah, jebolan
anak didik Muhammadiyah, tengok saja mulai dari Taman Kanak-Kanak saya, dari
kecil saya sudah berada di Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Atfal 3 di Desa
saya, ke jenjang yang lebih tinggi saya tetap berada di pendidikan Muhammadiyah
yakni di Sekolah Dasar Muhammadiyah 1 Bancar, diatas pendidikan Sekolah Dasar
saya masih setia dengan pendidikan Muhammadiyah dan Sekolah Menengah Pertama
Muhammadiyah 3 Bancar adalah pijakan otak saya setelah menempuh Sekolah Dasar
selama 6 tahun, ternyata nasib tak membiarkan saya untuk keluar dari pendidikan
Muhammadiyah, di Sekolah Menengah Atas lagi-lagi saya harus mendekam dalam
pendidikan Muhammadiyah dan SMA Muhammadiyah 3 Bancar adalah tempat berlabuh
saya selama 3 tahun. Dan usai dari SMA saya memutuskan untuk berhenti sekolah.
Banyak, bukan,
terlalu banyak mungkin yang diberikan Muhammadiyah kepada saya, Muhammadiyah
menggodok otak saya terlau kritis, sampai-sampai setiap harinya saya selalu
memunculkan opsi-opsi tertentu untuk setiap kejadian yang saya saksikan.
Muhammadiyah
meninggalkan beberapa kalimat inspirasi di otak saya dan salah satunya yang
masih membekap otak saya adalah kalimat “Hidupilah Muhammadiyah dan Jangan Cari
Hidup di Muhammadiyah”, kata-kata yang hebat mudah diucapkan tapi sulit
diamalkan.
Sering saya
mendengar kata-kata itu keluar dari para petinggi-petinggi Muhammadiyah tapi
sayang itu hanya sebuah kata-kata dan tak berlaku buat kehidupannya. Saya
mendengar kawan saya yang notabennya juga lulusan Muhammadiyah ketika SMP di
lempari kata-kata tersebut dan dia cuma diam saja. Aku yang mendengarnya sangat
risih, kenapa kata-kata itu dilemparkan kepada kami yang masih terpandang anak-anak
kecil dimatanya, kenapa kata-kata itu tak dilemparkannya kepada pengurus
Muhammadiyah yang lain yang lebih memilih menyekkolahkan anaknya di luar
pendidikan Muhammadiyah, apa kata-kata itu tak berlaku untuk sesama pengurus?,
apa kata-kata itu untuk anak-anak kecil seperti kami?. Bagaimana kader
Muhammadiyah akan bermunculan kalau petinggi-petinggi Muhammadiyah sendiri
seakan-akan enggan menyekolahkan anaknya di lembaga Muhammadiyah, Khususnnya
yang ada di Desa saya.
Lembaga besar, yang
memiliki amal usaha begitu banyak dan dengan kepengurusan yang begitu
kreatifnya yang seperti saya katakan diatas, sungguh ironi, kasihan
Muhammadiyahku menangis.
Meski sekarang saya
sudah tak aktif lagi dalam corat coret kepengurusan Muhammadiyah tapi ketika
telinga ini mendengar sesuatu yang kiranya berdampak negatif pada Muhammadiyah,
maka hati saya akan terketuk pada sendirinya. Ada seorang sahabat saya (anak
didik Muhammadiyah) yang sempat mengadu kepada saya ketika ia melamar menjadi
seorang pengajar dalam salah satu lembaga pendidikan Muhammadiyah.
“Saya pernah
melamar di salah satu lembaga pendidikan milik Muhammadiyah untuk menjadi
pengajar, tapi saya tidak diterima, katanya tak ada lowongan” Katanya
“Belum rejekimu
kawan” balas saya
“Tapi kenapa
ketikka ada anak pengurus Muhammadiyah yang melamar di tempat yang sama,
langsung diterima?” Balas dia
Dengan nada
sindiran aku mencoba menjawab “Lembaga pendidikan Muhammadiyah itu bukan milik
kader-kader busuk macam kita ini, tapi milik anak pengurus, jadi kamu gak usah
heran kalau tidak diterima menjadi seorang pengajar”
“Andai kamu
ditawari untuk jadi pengurus di Muhammadiyah apa yang akan kamu lakukan?” tanya
dia
“Entah sudah berapa
undangan dari Pemuda Muhammadiyah yang saya abaikan, saya tak akan masuk
kepengurusan Muhammadiyah, saya akan terus abaikan undangan-undangan itu kalau
kalian juga terus di abaikan oleh Muhammadiyah, tapi jujur saya berterima kasih
kepada Muhammadiyah yang sudah mendidik saya selama 12 tahun lebih, yang telah
membuat otak saya bisa berfikir seperti ini” Jawab saya. Hisyam Noer, 12 Januari 2014