Template by:
Free Blog Templates

Sunday, September 11, 2011

FORTASI SMA MUHAMMADIYAH 3 BANCAR (2006)

       Siap posting lagi nih sobat, ceritanya masih kuambil dari cerpen karanganku yakni HANYA BERMODAL MIMPI kali ini aku mau mengulang kembali memoriku ketika FORTASI waktu SMA dulu ..... hehehehe. ....

Liburan sekolah telah selesai dan tahun ajaran baru telah tiba banyak murid – murid yang memulai memasuki kelas dan sekolah baru, termasuk aku, aku yang waktu itu bingung kemana aku akan berlabuhakhirnya terjawab sudah, SMA Muhammadiyah 3 Bancar adalah pelabuhanku setelah 3 tahun menghabiskan waktu untuk menimba ilmu di SMP Muhammadiyah 3 Bancar, sekolah tersebut adalah sekolah yang sudah lama aku lihat tapi baru pertama kali ini aku menginjakan kakiku di pondasi dan lantai SMA Muhamadiyah 3 Bancar yang kurang rata ini. Lokasi yang berada tepat di sebelah selatan SMP ku membuatku sudah mengenal wajah – wajah penghuninya.
Waktu itu aku sekolah tanpa semangat karena aku masih terangan – angan dengan STM Negeri 1 Tuban, tapi aku coba untuk tetap menjalaninya aku berharap disini aku menemukan teman baru yang bisa di ajak gila – gilaan dalam permainan imajinasiku, tapi setelah aku lihat sebagian besar aku mengenal wajah – wajah yang tak asing ini, ternyata mereka adalah teman – teman SMP ku, aku masih ingat       nama – nama mereka, Saiful, Arifin, Bayu (blonceng), Esti, Dewi, Karnoto, Iis fajriyanti, Istianah, Hana, Rina, Fatimah, Budi (gonggo), Roghib, Dwi (pendek), Ana , jariyah, Qoniah , Rini, Siti, Wiwin, Said, Suroso, Nur Sulikhin (cak cing), Masrukin, Eni dan fela yang sempat jadi temanku saat SMP walau Cuma satu tahun, Sementara Sulikin (gandol), Ulfiah, memilih untuk tidak melanjutkan sekolah, Khasan, Arik dan Dika memilih untuk sekolah di tempat lain yang lebih bergengsi, ada juga teman – teman dari sekolah lain yang belum aku kenal dari sekolah NU ada anak yang bernama Darsi, Ipa dan Nurul, sementara dari SMP Negeri 1 Bancar ada Wening, Matus, Dola dan Ainun, ada satu anak lagi yang bernama Asih dia lulusan dari sebuah pondok  
Seperti sekolah – sekolah negeri lain, di sekolahku juga ada MOS atau Masa Orientasi Siswayang biasa dijalankan oleh anak – anak OSIS atau Organisasi Siswa Intra Sekolah tapi ada yang beda di sekolahku, organisasi sekolah bukanlah OSIS tapi IRM atau Ikatan Remaja Muhammadiyah dan MOS di lembaga perguruan Muhamadiyah bernama FORTASI atau Forum Ta’aruf dan Orientasi tapi kedudukanya sama dengan yang ada di Sekolah – sekolah negeri..
Selama satu minggu kami menjalankan Fortasi. Para pengurus IRM membuat acara semenarik mungkin salah satunya adalah acara game dimana yang salah akan dihukum untuk memperkenalkan diri kepad semua pesrta Fortasi, walaupun aku tau sebagian besar aku sudah kenal sama mereka.
Game sudah dimulai, kelihatanya sial telah menghampiriku, kosentrasiku buyar dan aku melakukan kesalahan dan hukumanpun siap untuk ku terima, aku mulai memperkenalkan diri, aku gelisah melihat manusia – manusia yang baru aku kenal, apalagi aku memakai pakaian yang tak mengikuti perkembangan zaman, baju yang kecil dan celana bekas bapakku waktu SMA dulu, sungguh tak sesuai dengan perkembanga zaman, ditambah lagi potongan rabutku yang sangat prmitif, rasa gelisahku sangat besar aku memperkenalkan diri dengan wajah tertunduk seperti menerima ijazah SMP ku dulu.
“Namaku Nur hisyam, alamat rumahku Banjarjo” perlahan aku mulai memperkenalkan diri.
Belum selesai memperkenalkan diri ejekan mulai muncul tak beraturan dari mulut teman – teman yang sudah tak asing lagi.
“He celananya kayak zaman purba kala” ejekan muncul dari salah satu temanku.
Aku mulai makin gelisah tapi aku tetap melanjutkan hukuman yang telah aku dapatkan.
“Tanggal 01 Oktober 1990 itu adalah kelahiranku dan hobiku bermain sepak bola” aku berlanjut mengenalkan diri.
Aku lega karena perkenalanku sudah selesai tapi aku masih malu dengan ejekan teman – temnaku tadi.
Fortasi adalah kegiatan paling menjengkelkan bagi peserta dan paling enak bagi panitia, karena bisa ngerjain peserta fortasi. Tak terasa dua hari lagi fortasi ini telah selesai, bukan berarti kami bisa tenang, justru disinilah ujian yang sesungguhnya yakni ujian mental, tepatnya hari sabtu kami bersiap – siap dilapangan basket dengan menggunakan topi kerucut yang sudah di hias layaknya ulang tahun anak kecil yang dirayakan besar – besaran, tapi aku beruntung karena kelompokku teridiri dari anak – anak yang mempunyai nyali jagoan untuk menentang suatu kesalahan maupun kebenaran yang tidak cocok dengan prinsip mereka, mereka adalah Masrukin, Roghib, fela dan  Cak cing yang terkenal anak yang jail dan agak nakal waktu di SMP dulu.
Ujian mental dimulai rutenya dari sekolahan menuju ke utara, tepatnya di perkampungan tempat kami tinggal, sebelum memasuki perkampungan kami harus melewati perempatan jalan dan keramaian pasar. Kmai berjalan ke utara dengan tenang, santai dan teratur, tibanya diperempatan ada dua senior kami yang bernama Atun dan Anto yang siap menguji mental kami, mereka mencorat coret wajah kami dengan lipstik merah layaknya anak kecil yang sedang menggambar sesuka hati dan kami diberi hiasan yang tidak akan pernah di jumpai di toko manapun yaitu berupa tas kresek dan kaleng – kaleng bekas.
“Klontang….. Klontang….. Klontang…..” suara berisik dari           kaki – kaki kami ketika berjalan.
Kulihat teman – temanku seperti pemain kuda lumping, rasanya aku pingin tertawa tapi aku sadar kalau aku juga sama seperti mereka, hiasa kaleng yang menempel dikaki ini membuat kami risih, baru berjalan beberapa langkah dari permpatan hiasan tersebut sudah dilepas dan dibuang begitu saja dipinggir jalan, senior yang tau perbuatan kami tersebut langsung marah – marah tapi kami tak memperdulikanya dan meneruskan perjalanan. Sampai dikeramaian pasar kami ditertawakan orang – orang karena muka kami yang bercorat – coret tak karuan, disini aku lihat ada pos senior lagi, ini adalah posnya Dafi, kami harus mempersiapkan mental exstra, dipos ini kami disuruh ngamen di pasar, aku malu Karena banyak tetanggaku yang melihat, kami ngamen dengan alat seadanya Cak cing membawa gitar sementara yang lain membawa sapu sebagai pengganti gitar dan waktu itu kondisi kami sudah tidak sabar lagi, usai ngamen kami kembali menghadap senior dan aku mulai mengejek seniorku karena kekesalanku.
“Dasar kambing betina” kataku kepada seniorku
“Siapa yang bilang tadi, kamu yang pakai topi merah, skot jump 10 kali” kata seniorku yang tersnggung.
Karena aku tau aku salah maka aku terpaksa harus skot jump 10 kali. Usai persoalan selesai kami melanjutkan perjalanan menuju ke kampung kami, kesialan ternyata belum bias menjauh dariku usai disuruh skot jump 10 kali kini pos selanjutnya berada di pertigaan rumahku dan kulihat banyak tetanggaku yang berkumpul layaknya menantikan artis idolanya, disini kami tidak langsung menghadap ke senior kami tapi kami menuju rumahku untuk minum karena perjalanan panjang telah mengeringkan tenggorokan kami, selesai minum kami baru menghadap senior kami yang dipimpin oleh Mbak Mamik.
“Sudah tau disini ujianya apa?” tanya mbak Mamik
“Belum” jawab kai serentak
“Disini ujianya adalah menghibur orang yang ada disekitar, bagaimana faham” kata mbak Mamik yang menjelaskan kepada kami.      
“faham” jawab kami lagi
Kami berfikir bagaimana cara menghibur orang yang ada disini, beberapa menit kemudian kami dapat ide, kami akan bernyanyi, kami berjalan menuju toko yang bertuliskan Keong Mas dan kami bernyanyi di depan toko itu.
“Balonku ada lima….. rupa rupa warnanya…” kami bernyanyi dengan serentak dengan nada yang tak beraturan.
“Hahahhaha…….” Penjual dan pembeli tertawa mendengar lantunan suara kami dan melihat muka kami yang corat – coret tak karuan.
Usai bernyanyi kami melanjutkan perjalanan ke timur yang mengarah dipertigaan jalan raya tepatnya di Layur. Kami menghadap senior kami yang dipimpin oleh Endang.
“Dipos ini adalah pos tolong menolong jadi kalian harus bisa menolong orang disini” penjelasan dari Endang.
Kami bingung apa yang bisa kami lakukan disini, kami mencoba mencarikan penumpang becak tapi tidak dapat, beselang bebrapa menit ada tetanggaku yang habis pulang sekolah dan akan menyeberang jalan, Masrukin yang kenal akrab dengan anak tersebut langsung menggandeng tanganya dan membantu menyeberang jalan, selesai tugas dipos ini kami melanjutkan pejalanan menuju pos Nizar dan Nur.
Lelah, lapar, haus sudah mulai terasa tapi perjalanan belum berakhir, akhirnya kemarahanpun muncul. Menujuke pos berikutnya kami mulai menyiapkan strategi, sifat kelompok kami yang sebenarnya mulai muncul.
“He dengar, nanti kalau di pos berikutnya kalau disuruh kita abaikan saja” kata pemimpin kami Cak cing dengan perasaan yang kesal.
Sesampainya di pos tepatnya di balai desa Bulumeduro kami sudah pasang muka seram, marah dan siap menentang perintah perintah senior kami.
“Sini – sini, disini adalah pos kebersihan silahkan bersihkan ruangan ini” salah satu senior memerintah dengan seenaknya.
“Nggak, kami tak mau” tantang kami
“Kalau gak mau kalian kami hukum” sahut senior yang lain.
“Kalau begitu kami pulang saja, kami tak mau meneruskan acara ini” tantang kami lagi.
Senior kami mungkin kebingungan karena kami berbuat nekat, akhirnya kami dibebaskan dari tugas tersebut dan disuruh melanjutkan perjalanan, strategi kami berhasil dan kami akan mencobanya lagi di pos berikutnya. Sesampainya pada pos berikutnya, strategi kami tak ampuh lagi, disini bukan para senior – senior kami tapi para pembina kami, pak Sami’an pembina kami sewaktu SMP, dialah pemimpin dipos ini. Disini sangat lucu, kami di bagi tugas fela ditugaskan merayu bunga, Cak cing bernyanyi lagu kebangsaan dihalaman rumah, Masrukin disuruh merayu anak kecilyang baru berusia sekitar 5 tahun, Roghib merayu salah satu senior kami yang cantik, sementara aku merayu dua Gadis cantik di daerah ini. Tugasku cuma disuruh menanyakan namanya saja walaupun sebenarnya aku sudah tau namanya, setelah beberapa menit aku kembali menghadap pembina dan memberitaukan nama          gadis – gadis cantik tersebut, aku selesai duluan dan beristirahat, sementara kulihat Roghib merayu senior cantik dengan segudang cara, Masrukin masih berlari – larian mengejar anak kecil yang tidak mau untuk dirayu, tiba – tiba terdengar suara yang keras tak karuan.
“Indonesiaaaaaa….. Tanah airku….. tanahhhh tummmpa darakuuuuu…” Cak cing  bernyanyi dengan cengengesan dan nada yang tak karuan.
Yang lebih gila aku melihat Fela sedang merayu bunga, sungguh – sungguh gila, sampai kapanpun dia tak akan mengerti jawabanya. Ketika tugas kami selesai, kami dikasih oleh – oleh, kami disiram air satu persatu, suhu panas yang mengendap didalam kepalaku hilang, tapi tunggu dulu, aku mencium bau amis, ternyata ini adalah air bekas mencuci ikan, sekujur tubuh kami amis, setelah kami disiram kami melanjutkan perjalanan, tinggal tiga pos lagi, di tengah – tengah kampong ada 2 pos dan di perempatan jalan yang kami singgahi pertama kali tadi adalah pos terakhir.
Kami sampai di pos yang dipimpn oleh Sulimin tetangga depan rumahku, rasa marah yang mengendap dalam otak ini kini berangsur – angsur hilang karena bau amis ini. Kami haus dan senior pun menyadarinya.
“Kalian haus?” tanya senior kami
“Ya..” jaawb serentak
“Ini saya kasih air satu tutup botol Aqua, harus dibagi rata satu kelompok” kata senior kami lagi.
“Kurang ajar masak air satu botol disuruh bagi 5 orang” kata dalam hatiku
Usai semua minum kami dikasih hadiah kaos cantik yang terbuat dari tas kresek, seperti biasa kaos tersebut langsung dirusak oleh kelompok kami, dan kami melanjutkan perjalanan menuju pos berikutnya, dua pos yang ada di depan kini berhasil terlewati dengan mudah dan kami meneruskan perjalanan ke sekolah.
Malam harinya kami menginap disekolah, ada uji nyali yang bakal kami lewati. Sekitar jam 20.00 WIB, setelah sholat isya’uji nyali dimulai, kami berpakaian pramuka dan berbaris dengan mata tertutup, kami bergandengan tanga menurut kelompok masing – masing. Setelah semua siap kami ditarik kesana – kemari, aku bingung tak tau arah yang aku dengar hanyalah suara hewan – hewan malam dan hawa dingin yang menusuk tulang, beberapa menit kemudian aku dilaepas dari kelompokku dan ditinggal sendirian, aku panik karena tak tau situasi dan posisiku yang aku hadapi yang ada cuma kepanikan.
“Hee….. kalian dimana,,, Cak cing….. kamu dimana” aku berteriak mencari tau dimana mereka.
Aku makin panik karena tak ada jawaban, terpaksa penutup mataku aku buka, ternyata mereka masih ada disekitarku tapi dipisah hanya bebreapa meter saja, kulihat ada pembina mendekat dan aku langsung memakai kembali penutup mataku kembali, aku ditarik pembina dan diajak lari malam, aku takut terkena benda keras karena mataku ditutup, aku dihentikan ditempat yang terang tapi entah dimana, yang aku dengar hanyalah suara yang keras, seperti suara gallon yang sedang dipukul dan ku dengar suara anak yang menirukan bunyi pistol, makin keras suara itu mulai aku mengenalinya itu suara Budi. Aku penasaran dengan apa yang dilakukan Budi, perlahan aku membuka sedikit tutup mataku. Perasaan yang awalnya kesal kini berubah menjadi lelucon, aku melihat Budi berlagak seperti tentara yang sedang perang dunia dengan gaya merayapnya dengan mata tertutup.
“Dor..dor.. dor… dor…” teriakan Budi yang menirukan suara pistol
Kemudian aku diajak lari lagi dan kali ini aku diberhentikan di kegelapan, firasatku tak enak, aku kenal bau ini, bau tempat ku berkumpul saat menanti waktu les saat SMP. Ini bau bunga yang ada dikuburan, ngapain malam – malam aku ditaruh di kuburan apa mungkin aku mau dijadikan tumbal, kemudian aku disuruh duduk dan bersandar disebuah kayu yang berbentuk seperti jeruji besi penjara, tiba – tiba bau wangi menyengat hidungku dan terdengar suara yang aku kenal.
“Ya Allah… Allah… Allah…” teriak Cak cing
Teriakan itu senakin keras dan aku tau itu suara Cak cing, ada apa denganya, apa malaikat maut sedang menjemputnya ataukah dia telah dipersembahkan untuk dijadikan tumbal, tiba – tiba tanganku ditarik dan ditaruh di suatu tempat dimana tempat ini terasa lebih menyeramkan.
“Maju sepuluh langkah dan buka tutup matamu” kata seniorku
“Satu, dua, tiga,……. Sepuluh,” kataku dan aku buka penutupnya.
“Ya Allah…” kataku dalam keadaan kaget
Aku kaget yang kulihat hanyalah papan – papan kayu berjejer saling berhadapan dengan rapi dan disitu tertulis sebuah nama dan tanggal, ternyata benar aku berada di tengah kuburan, dan tugasku mencari lilin untuk mencari namaku. Lagi asik – asiknya mencari namaku disamping makam muncul wajah yang mengerikan, ternyata itu adalah wajah pak Sami’an pembina kami yang disoroti pakai senter. Setelah namaku ketemu aku langsung berjalan ke utara dan bertemu dengan       teman – temanku, kemudian kami bekumpul bersama, ketika semua berkumpul,       tiba – tiba salah satu pembina kami marah – marah dan kami disuruh menutup mata kami lagi, tiba – tiba aku ditarik seorang anak dan diajak berlarian dipersawahan yang tanahnya habis dibajak sampai – sampai sepatuku terlepas satu, aku suruh pembina tersebut untuk mencarikan sepatuku, setelah ketemu aku diajak lari lagi. Entah siapa pembina ini tapi yang jelas kelihatanya dia marah ketika aku suruh mencarikan sepatuku tadi, aku ditabrakan pintu gerbang sekolah yang reot, aku marah dan mencoba melawan tapi pembina tersebut makin menjadi – jadi, aku ditabrakan lagi dipintu gerbang dan pondasi sekolah SMP ku dulu, aku pikir ini adalah yang terakhir dia memperlakukan aku seperti ini ternyata tidak, aku diajak berlari diteras SMP kali ini aku ditabrakan sebuah meja.
“Hahahahaha……..” semua temanku yang tau tertawa terbahak – bahak
Aku kesal terpalsa kau buka penutup mataku setelah ku lihat aku kenal siapa yang ngerjain aku, dia adalah Sulimin tetangga depan rumahku, kemudian aku kembali di sekolah dan tidur.
Pagi yang cerah dengan badan yang pegal, hari ini kegiatan terakhir yakni jelajah alam, tak ada yang menarik di jelajah alam ini kecuali di bagian halang rintang, kami harus menyeberangi sungai denag melewati dua tali tambang yang diikat sampai keseberang, sebelum kami melewati tali ini kami memperhatikan kelaompok lain yang lebih dulu melewati tali ini yaitu kelompok Qoniah. Qoniah mulai menyeberangi sungai tapi sayang gagal.
“Blegggeeeeerrrrrrrr” suara qoniah saat jatuh seperti kapal pecah yang menghantam karang.
Wajar berat Qoniah kurang lebih 100 kilogram melebihi berat badan rata – rata anak SMA. Giliran kelompok kami tiba Cak cing memulai duluan, kupikir Cak cing bakalan jatuh tapi ternyata dugaanku ditepisnya dengan bukti yang meyakinkan, Pembina mencoba mengombang ambingkan talinya tapi Cak cing tetap tidak terjatuh sampai diseberang, sementara anggota yang lain terjatuh ke dalam sungai air payau ini. Aku tidak bisa mengikuti jejak pemimpinku, Cak cing memang hebat keseimbanganya luar biasa, seperti memilii ilmu keseimbangan kayak di film Angling Darma. Dia memberi contoh yang bagus buat anak buahnya.
Sorepun tiba, waktunya kami pulang, aku ingin beristirahat dirumah sepuasnya. Ternyata kegiatan yang paling menjengkelkan bisa menimbulkan suatu kesenangan dan keasikan, ini adalah kenangan yang tak terlupakan.

Wednesday, September 7, 2011

KEMAH SMP MUHAMMADIYAH 3 BANCAR

Sory blogger semua, udah lama banget aku ga ganti postinganku tapi sebeumnya aku mau ngucapin minal aidin wal faizin..... kali ini aku mau posting tentang ceritaku dulu. Ini aku ambil dari cerpen karyaku sendiri yang berjudul HANYA BERMODAL MIMPI.

ni ceritanya .......

Pertandingan demi pertandingan tingkat kabupaten maupun tingkat kecamatan menghiasi bulan Agustus, usai pertandingan sepak bola tingkat kabupaten pertandingan yang lain sudah siap menguji kemampuan kami salah satunya adalah kemah antar sekolah sekecamatan Bancar yang akan diadakan di desa Sidomulyo.

Aku salah satu peserta dari SMP Muhammadiyah 3 Bancar, dipertandingan sepak bola kami boleh kalah tapi dipertandingan kali ini kami tidak akan kalah, kami sudah langganan juara dalam lomba pramuka, segala persiapan telah kami lakukan salah satunya impianku saat SD yaitu berdiri paling atas diatas punggung temanku dipertunjukan Standent nanti, mimpiku dari SD yang tak bisa terwujud kini akan terwujud pada perlombaan kemah tingkat SMP, setiap sore kami berlatih Standent dengan sang arsitek baru kami yakni pak Wanto dan pak Sami’an, kalau dulu kami diarsiteki oleh pak Rofiq ketika kami di sekolah dasar tapi sekarang pak Wanto dan pak Sami’an sebagai penerusnya, dulu seni ini sering digunakan olah SD Muhammadiyah 1 Bancar tapi sekarang seni ini sudah mulai merambah ke SMP dan SMA Muhammadiyah di Bancar.

Kami berlatih dengan semangat yang tinggi demi menutupi hasil negatif yang di raih tim sepak bola dalam pertandingan tingkat SMP sekabupaten Tuban. Semua bersiap di posisi masing – masing mulai dari paling bawah ada kakak kelasku berbadan besar, Mustaman, Maftukin, Solek, dan satunya lagi sahabatku Nur udin, di atas mereka ada kakak kelasku lagi yakni Mustaqim dan Imron sementara sebagai tonggak penopang Mustaqim dan Imron ada Sulimin kakak kelas sekaligus tetanggaku dan Saiful temanku dari luar desa, di atas Imron dan Mustaqim ada Dafi kakak kelasku bertubuh agak kurus kemudian di atas dafi, aku mencoba berdiri tapi agak takut karena ketinggianya sekitar 3 – 4 meter, lebih tinggi dari yang aku lakukan ketika SD dulu, keseimbangan mulai goyah dan akhirnya kami jatuh, aku yang jatuh dari tempat paling atas langsung di tangkap pak Wanto, dengan kedua tangannya pak Wanto langsung menyambar bajuku akibatnya kancing bajuku putus.
“Hahaahahaha……” Semua tertawa
“Ganti yang paling atas dengan Nur hadi saja” kata salah satu temanku

Aku hanya bisa terdiam mendengar perkataan itu, wajar jika Nur hadi yang mereka inginkan untuk berada di atas, Nur hadi lebih pengalaman dari pada aku, tapi kalau ini terjadi impianku untuk berada di paling atas akan 5tertunda lagi.
“Kita coba sekali lagi” kata Pak Sami’an
“Ya kita coba lagi” sambung pak Wanto

Semua kembali berdiri dan bersiap diposisi masing – masing, aku naik perlahan – lahan sampai di atas aku mencoba memberanikan diri untuk berdiri.
“Impianku akan musnah jika aku tidak bisa berdiri dengan sempurna di atas sini” kata batinku

Perlahan aku mulai berdiri aku mulai senang ketika sebagian tubuhku sudah mulai terangkat, keseimbangan mulai goyah tapi aku terus mencoba berdiri, akhirnya aku bisa berdiri tegap dan disusul rekan yang lain di depan kami sebagai fariasi tambahan mereka adalah Dika, Batomi, arifin teman sekelasku dan juga Nizar dan Nur hadi kakak kelasku, semua terlihat disekelilingku, tak terasa karena sangat senangnya aku berada di atas sampai lupa tak turun – turun.
“Hei turun, capek nih” teriak temanku yang berada paling bawah

ku tersenyum dan segera turun, pulang ke rumah dengan perasaan bahagia, akhirnya impianku bakal terwujud.

Setelah berulang kali aku berlatih dan setelah lama menunggu akhirnya sampai juga waktu dimana pertandingan kemah akan dilaksanakan, peserta perkemahan naik kedalam mobli truk yang sudah disiapkan oleh sekolah, dengan peralatan lengkap kami berangkat dengan membawa ambisi menang.

Setelah melewati desa – desa lain akhirnya kami tiba di bumi perkemahan, Karang Pacar, Sidomulyo kecamatan Bancar Kabupaten Tuban. Turun dari truk dengan hati yang bersemangat, kemah pertama kali buatku dan harus aku torehkan prestasi emas buat sekolahku.
“Ayo kita dirikan tenda” kata salah satu temanku
“OK, ayo” jawabku

Kami semua bekerja sama untuk mendirikan tenda, tenda kami berdiri dengan megahnya, berdiri seperti rumah dengan pintu masuk dan pagar dari bambo menghiasi tenda kami dan didepan pintu terdapat tulisan SMP Muhammadiyah 3 Bancar yang bakal di ingat setiap orang yang membacanya.

Apel pagi dimulai, kemah kali ini aku mendapatkan jatah yang asik banget aku tidak diikutkan kegiatan apapun hanya disuruh konsen pada pertunjukan pentas seni saat malam api unggun nanti, bagai pengangguran hidupku diperkemahan ini, mulai dari apel pagi sampai malam api unggun tiba tugasku hanya menjaga tenda saja, kadang aku bosan.

Hari pertama kami lewati tanpa bersusah payah karena bukan hari pertama yang bikin tenaga kami terkuras tapi hari kedualah yang bikin nafas kami bakal tersendat – sendat, dihari kedua, sejak pagi teman – teman bersiap dengan peralatan lengkap seperti tentara yang menuju medan perang sayang kurang coretan dimukanya, sementara aku yang pingin banget ikut jelajah alam tetap tak diperbolehkan, aku, Solek, Mustaqim, Imron dan Mustaman berada di tenda, sementara Solek, Mustaqim dan Mustaman tak bisa ikut karena di waktu yang bersamaan ada lomba memasak, Solek, Mustaqim, dan Mustamanlah perwakilan dari kelompok kami, aku bosan berada di tenda terus, para penjelajah sudah berangkat menuju medan yang sudah menanti berkilo – kilo meter, aku kawatir dengan Dika yang ikut jelajah alam karean setaminanya tidak begitu kuat untuk medan yang menguras tenaga, sementara aku melihat kakak kelasku Solek, Mustaqim dan Mustaman sedang memasak nasi goreng, kelihatanya enak banget, sementara kulihat dari sekolah SMP Nu malah kayak bubur, dan dari SMP N 1 Bancar sampai diatas wajannya terbakar api layaknya koki dari jepang, semua berusaha dengan keras, lucu banget gaya para koki – koki amatir ini.

Setelah menunggu beberapa lama akhirnya masakan mereka siap disajikan dihadapan dewan juri, aku berjalan menuju tenda dewan juri yang kebetulan aku kenal dengan sebagian dari dewan juri di perkemahan ini.
“He makan nih, mumpung ada” kata salah satu dewan juri
“Ya” jawabku dan tak sungkan lagi untuk memakan sajian yang diberikan

Aku melihat dari sebelah selatan, segerombolan teman - temanku yang basah kuyup seperti habis dilanda banjir, aku lihat langit ini cerah sekali tapi kenapa mereka basah kuyup, dengan segujur tubuh yang basah malah membuat mereka semakin mirip dengan tentara berani mati, pejuang SMP Muhammadiyah 3 Bancar memang patut diacungi jempol, setelah kegiatan penjelajahan dan lomba masak selesai, kami menuju tenda untuk mempersiapkan acara puncak pada saat api unggun nanti.

Waktunya mandi, kemarin kami mandi disungai sekitar desa ini tapi kali ini, aku akan mandi di rumah neneknya Nizar, di rumah ini aku sempat kaget melihat Nizar ada dua atau mungkin mataku yang tiba – tiba terkena penyakit, bukan salah mataku, ternyata itu saudara sepupu yang mirip dengan Nizar, Ruru namanya dia juga salah satu peserta perkemahan di desa ini. Semua telah bersih kami kembali di tempat perkemahan, sampai diperkemahan ada yang membuat aku tertawa. Nizar dipanggil Ruru oleh teman – teman Ruru sementara teman – temanku memanggil Ruru dengan nama Nizar.

Malam api unggun adalah malam yang ramai, usai sholat magrib aku jalan – jalan dengan teman – teman ke tenda anak perempuan sambil menunggu makan malam datang dari dewan guru, lagi asik jalan – jalan kami singgah di tenda anak – anak perempuan dari SMP N 1 Bancar, kami menggoda anak – anak perempuan tersebut salah satunya ada Sri Weni dan Rukmini, dua anak dari SMP N 1 Bancar ini membuat kami betah untuk berada di tenda anak perempuan, tiba – tiba pandangan kami berubah pandangan kami mengarah ke anak perempuan dari sekolah MTS Manbail Futuh Bancar, Indah namanya, anak yang lumayan cantik itu kata teman – temanku, terlalu lama di tenda anak perempuan membuat kami untuk berjalan mencari suasana baru, di depan tenda sekretariat panitia mata kami tertuju pada sesuatu papan yang membuat kami kaget, setelah melihat wanita – wanita cantik kami harus melihat papan nilai dan yang membuat kami kaget adalah nilai lomba memasak, nilai kami di bawah nilai dari sekolah SMP NU Bancar padahal makanan kami kelihatan lebih enak, sementara masakan sekolah SMP NU seperti bubur, Kadir anak dari luar jawa kenalan kami di perkemahan yang kebetulan murid dari sekolah SMP NU pun tak percaya dengan nilai ini.
“Wah aku tak menyangka, nilai kami di atas nilai kalian” kata Kadir kepada kami.
“Ya aku juga tak menyangka” sahut salah satu temanku.
“Padahal punya kalian lebih bagus dan lebih enak” sahut Kadir lagi.
Setelah capek kami jalan – jalan kami kembali ke tenda dan kebetulan jatah makan malam telah tiba, kami langsung mengambil satu – satu. Kami adalah satu kelompok jadi harus bersama – sama makanpun kami bersama, kulihat masih ada satu bungkus nasi.
“He ini punya siapa?” Tanyaku kepada teman – teman
“Itu jatahnya Maftukin” jawab salah satu temanku
“Kita kerjain yuk?” Ajak Nur hadi
“Kerjai dengan apa?” Tanya teman yang lain

Semua tampak berfikir tapi salah satu teman kami ada yang membuka sebungkus nasi itu, aku piker dia akan memakanya tapi ternyata dia meludai nasi itu dan secara spontan semua ikut meludai, kemudian nasi itu ditutup lagi seperti semula.

Aku tak mengira mereka tega berbuat seperti itu terhadap temanya sendiri, mungkin ini balasan buat Martukin yang kemarin malam kencing di samping tenda yang baunya tak bisa buat kami tidur dengan tenang. Semua terdiam ketika Maftukin muncul bungkus nasi yang tinggal satu itu langsung disahut Maftukin yang dalam kondisi kelaparan, bungkus nasi dibuka dan Maftukin memakan dengan lahapnya.
“hahahahha……” semua tertawa
“Ada apa?” Tanya Maftukin
“Tak ada apa – apa” jawab Nur hadi

Maftukin meneruskan makanya yang seolah – olah tidak terjadi apa – apa sementara itu kami pergi untuk cuci tangan, tak terasa adzan isya’ sudah terdengar kami bersiap untuk melakukan upacara api unggun, setelah persiapan sudah matang kami berkumpul dilapangan, api pun dinyalakan hawa panas pun merasuk kedalam sekujur tubuh, panasnya api unggun ini hampir sama dengan panasnya semangatku yang ingin cepat – cepat memperlihatkan pertunjukan kami.

Upacara api unggun dimulai kami mengikutinya dengan baik dan setelah upacara api unggun selesai kami duduk bergerombol satu kelompok, sambil menyaksikan pertunjukan dari sekolah lain kami berbincang – bincang sambil menunggu giliran kami tiba.
“Kin, nasi yang kau makan tadi itu habis diludahi anak – anak ini” kata Nur hadi dengan tiba – tiba sambil menunjuk kami semua.
“Masak” balas Maftukin yang tak percaya.
“hahahahaha….” Semua tertawa.

Perasaan ku yang awalnya senang santai tiba – tiba gugup tak karuan.
“Tunggu sini aku mau kencing dulu” kataku kepada teman – teman
“Aku ikut” kata Batomi

Setelah aku kencing aku kembali berkumpul dengan kelompokku. 5 menit kemudian aku berdiri lagi dan berlari kebelakang untuk kencing lagi, rasa gugup yang aku alami ini membuatku duduk tidak tenang karena sesekali aku berdiri untuk kencing.
“Hei, kamu mau kemana lagi” tanya salah satu temanku
“Kencing” jawabku.
“Kencing kok gak ada hentinya” tambah temanku.
“Kencing kok sampai sepuluh kali” sahut teman yang lain.
“Aku juga mau kencing” Kata Nur hadi.
“Ini lagi ikut – ikut saja” tegur salah satu temanku.

Di belakang akau bercerita dengan Nur hadi tentang perasaanku yang gugup tak karuan ini.
“Nur, aku gugup, gimana nih?” kataku kepada Nur hadi
“Santai aja, tak usah gugup” jawab Nur hadi

Dengan perkataan Nur hadi, aku mulai tak gugup lagi aku dan Nur hadi kembali berkumpul dengan teman – teman. Setelah berkali – kali kencing dan lama menunggu akhirnya tiba juga saat giliran kami, dengan iringan music kitaro dari cina kami memulai aksi kami, berlari menuju api unggun dan berbaris melingkari api unggun dan dilanjutkan dengan salam pembuka dengan gaya seperti salam orang jepang, kemudian kami berlari dan kembali berkumpul di depan tenda sekretariat panitia, ini pertunjukan yang sebenarnya, dengan aba aba dari pembina kami Pak Sami’an, kami mulai aksi kami.
“Standent satu” aba – aba dari pak Sami’an

Mustaman, Solek, Maftukin dan Nur udin bersiap diposisi bawah sementara Sulimin dan Saiful bersiap di depan Maftukin, Mustaman, Solek dan Nur udin sebagai tonggak penyangga.
“Standent dua” aba – aba pak Sami’an berikutnya
Imron dan Mustaqim naik diatas bangunan palimg bawah.
“Standent tiga” aba – aba pak Sami’an lagi

Dafi naik di atas Imron dan Mustaqim dengan posisi seperti kodok, disusul denganku yang naik dengan bantuan Batomi yang tingginya hampir 2 meter, aku naik pelan – pelan dan berhenti diatas Dafi dalam posisi jongkok, di atas anginya lumayan kencang sehingga menbuat bangunan kami goyah.
“He Nur, jangan goyang – goyang” kata Dafi yang agak takut.
“Anginya kencang kawan” sahut aku.

Wajar jika Dafi takut karena di belakang kami ada api yang sangat besar yang siap melahap kami jika kami roboh ke arah belakang.
“Standent empat” aba – aba lagi dari pak Sami’an

Aku berdiri di atas punggungnya Dafi dan di depan kami bangunan kecil yang dikomandoi Nur hadi pun sudah berdiri dengan sempurna. Kondisi kami yang sudah sempurna ini aku lihat pak Zaenal datang tiba – tiba di depan kami dan mengambil gambar kami dan dengan alunan musik dari cina ini aku mendengar tepuk tangan dari penonton. Aku bangga akhirnya impianku dari kecil terwujud dengan gaya kedua tangan yang aku bentangkan keatas dan jari kedua telunjuk yang aku acungkan, aku tunjukan kepada penduduk kecamatan Bancar, inilah seni kami, seni yang tak akan terlupakan. Angin kencang datang, aku yang berdiri diatas sudah mulai goyah, sebenarnya pertunjukan belum selesai tapi bangunan sudah mulai goyah akibat angin kencang, ternyata pak Sami’an menyadari ketidak beresan dari pertunjukan kami.
“Standent lima” aba – aba terakhir dari pak Sami’an yang berarti kami harus turun dan membubarkan diri.

Aku turun pelan – pelan dengan bantuan Batomi begitu juga Dafi, semua turun dengan selamat dan kembali berkumpul untuk memberi salam penutupan. Akhirnya sukses juga pertunjukan kami, dengan optimisme tinggi kami yakin kami yang bakalan mendapatkan juara I.

Pertunjukan api unggun selesai, kami masuk tenda untuk beristirahat dan mempersiapkan kegiatan jelajah malam. Aku tidur dengan enaknya tiba – tiba kulihat pak Zaenal tidur disampingku dengan gaya sujud. Kudengar panggilan dari panitia mereka membangunkan kami, tidur yang tidak nyenyak dan bangun dengan tiba – tiba membuat kepalaku pusing, pak Zaenal tiba – tiba roboh dari tidurnya karena kaget mendengar panggilan dari luar. Semua terbangun dan bergegas keluar tapi aku tetap tidak diperboehkan ikut aku disuruh di tenda saja.

Entah teman – temanku diapakan di luar tapi yang jelas mataku ngantuk sekali, aku harus tidur. Aku terbangun tak terasa sudah adzan subuh, aku dan Nur hadi pergi ke perkampungan untuk mencari tempat kencing, mutar muter mencari kamar kecil tak ketemu juga, tiba – iba kulihat Nur hadi yang tidak tahan terpaksa kencing di jalan setapak.
“He ngawur,entar kalau ada orang gimana” tegur aku ke Nur hadi
“Terpaksa udah tak tahan” jawab Nur hadi dengan enteng
Aku yang masih kuat untuk menahan, terus mencari kamar kecil dan akhirnya pencarianku membuahkan hasil, aku menemukan kamar kecil milik orang kampung yang terbuat dari bambu bertutup daun - daun kelapa disekitarnya, tanpa basa – basi aku langsung kencing di tempat tersebut yang gelap tanpa lampu. Tanpa aku sadari aku mengencingi air di yang ada timba besar milik orang yang punya kamar kecil ini, mungkin air ini akan digunakan untuk mandi, tapi air ini sudah kotor oleh kencingku. Setelah semua yang aku lakukan selesai aku langsung pergi tak memperdulikan air yang aku kencingi tadi.

Kulihat semua melakukan sholat berjama’ah subuh sementara kelompok kami mulai dari awal hingga akhir tak pernah ikut sholat jama’ah, kami lebih memilih untuk sholat sendiri – sendiri, mataharipun muncul dan sebentar lagi tiba saat pengumuman pemenang perlombaan perkemahan tingkat kecamatan. Kami semua berkumpul di tenda dan akan mempersiapkan pelaksanaan upacara penutupan perkemahan antar sekolah sekecamatan Bancar, tiba – tiba pak Zaenal berjalan ke tempat kami.
“Ayo persiapan buat acara penutupan” kata pak Zaenal
“Sayang foto standent tadi malam hasilnya tidak maksimal karena ada api di belakang kalian” kata pak Zaenal lagi
“Apa, jelek dong pak hasilnya” sahut temanku
“ya” kata pak Zaenal
“Bagaimana kalau kita coba sekali lagi disini” usul salah satu temanku

Semua sepakat dan kami mulai pertunjukan lagi tanpa bimbingan dari pembimbing kami pak Wanto dan pak Sami’an, menghadap kea rah matahari yang baru bangun dari tidurnya aku berdiri tegap dengan menatap matahari, sementara pak Zaenal memotret kami dengan sempurna, sementara itu Nur hadi, Batomi, Nizar, Dika dan Arifin duduk berbaris di depan kami yang seharusnya mereka membentuk bangunan kecil di depan kami. Di sini kenangan yang tak akan aku lupakan, usai pak Zaenal memotret dengan sempurna Maftukin yang berada paling bawah tiba – tiba lari dan secara otomatis kami semua terjatuh, tak ada yang menolongku yang berada paling atas, aku terjatuh dan punggungku jadi korban kerasnya tanah lapangan Karang Pacar, Sidomulyo-Bancar.



“Aaaa…..” teriaku waktu jatuh
“Sakit gak” tanya Nur hadi sambil melihatku yang tergeletak di tanah.
“Lumayan” jawabku
“Hahahaha…” semua tertawa

Aku berfikir mungkin Maftukin balas dendam soal makananya yang diludahi anak satu tenda kemarin, lumayan juga sakitnya, anak yang tingginya cuma 145 centimeter harus jatuh dari ketinggian kira – kira 3 – 4 meter, sungguh kurang ajar Maftukin, rencana balas dendamnya sukses besar. Aku malu karena semua orang menertawakan kami, yang awalnya mereka kagum dengan pertunjukan kami sekarang mereka menertawakan kami gara – gara ulah Maftukin.

Akhirnya upacara penutupan dimulai, aku deg dekan, menunggu hasil perlombaan ini. Setelah menunggu sekian lama akhirnya sampai juga di pengumuman yang kami tunggu.
“Juara III diraih oleh SMP N 1 Bancar”
“ Juara II diraih oleh SMP Muhammadiyah 3 Bancar”

Kami yang mendengar pengumuman barusan kami kaget dan tak terima seharusnya kami mendapat juara I terus siapa juara satunya.
“Juara I diraih oleh SMP NU Bancar”
“Ini tak adil seharusnya kita yang dapat juara satu” kata salah satu temanku

Ketua regu masing – masing sekolah yang mendapatkan juara maju kedepan untuk menerima piala, sementara dari regu kami ketua regunya tak diperbolehkan maju kedepan oleh para anggota regu sebagai simbol protes kami kepada panitia. Tapi karena panitia yang terus memanggil terpaksa ketua regu kami maju untuk mengambil piala mengecewakan ini. Wajar jika kami kecewa bertahun tahun kami mengikuti perlombaan pramuka kami terus mengoleksi juara I dan baru kali ini juara II harus kami bawa pulang ke gedung SMP Muhammadiyah 3 Bancar.

Usai menerima piala dan usai upacara piala itu diambil Maftukin dia melampar dan menendang hingga terbelah menjadi dua.
“Sudah, sudah, sudah, kita terima saja hasil ini” kata salah satu temanku yang mencoba menghentikan aksi Maftukin.

Semua berhenti dan mereka menyadari keputusan ini walau ada sedikit ketidak pantasan. Akupun sedikit kecewa penghargaan yang tertinggi yang bakal aku persembahkan buat sekolah tercinta ternyata hanya sampai pada tahta ke dua.

Tak lama kemudian jemputan datang untuk sebagian teman – temanku yang hari ini akan ikut berpartisipasi HUT RI dalam perlombaan Gerak Jalan tingkat kecamatan, aku tak bisa membayangkan betapa capeknya mereka setelah tidur selama 2 malam di tenda yang beralaskan tanah sekarang mereka harus menghadapi perlombaan gerak jalan sejauh kurang lebih 10 kilometer, semua ini terjadi karena keterbatasan murid, tapi walau muridnya sedikit, sekolah kami tak bisa diremehkan. Sambil menunggu jemputan yang datang lagi dari sekolah aku duduk – duduk sambil dipijitin pak Amrozi kepala sekolahku. Kenangan ini tak bakal aku lupakan dan pungguku saksi dari semua ini.