Kamis, 15 Mei 2014. Tujuh orang dari
Desa Pesisir Bulu yang tergabung dalam Pecinta Alam Ujas-ujus (PAUS) dan
Anak Nelayan Pecinta Alam (ANPAL) berangkat bersama sama menuju ke kota
Bunga, Magelang.
Dua anak sudah menunggu kami di kota itu. Setelah melakukan perjalanan
kurang lebih 8 jam, akhirnya sekitar pukul enam sore kami berkumpul di
terminal Magelang. Kesembilan anak itu adalah Solik, Dayak, Solikan,
Jojon, Impong, Doyok, Oling, Mundir dan saya sendiri Cumpon. Tapi ini
bukan peserta yang sebenarnya karena masih ada tiga orang lagi yang
belum kumpul.
Sembilan orang ini terpaksa berangkat lebih dulu menuju arah Wekas,
gerbang masuk menuju Gunung Merbabu. Jalan beraspal menuju arah basecame
mengalami kendala, rusak parah, sehingga memaksa kami harus turun dari
mobil dan terpaksa berjalan. Untung waktu itu malam gelap, sehingga kami
tak tahu medan yang kami lalui. Kami hanya bisa merasakan beban berat
yang terdapat dalam carier kami dan harus kami pikul sampai ke basecame.
Sekitar 6-7 kilometer kami baru sampai basecame, Melewati pos
pendaftaran kami melakukan registrasi sebesar Rp 4000 per anak.
Masuk basecame dan istirahat semalam untuk memanjakan diri setelah
berjalan menanjak sejauh 6-7 kilometer dengan beban yang bersandang di
punggung kami. Jum’at pagi tiga orang kawan yang kami tunggu akhirnya
datang. Mereka adalah Yon, Devi dan satu orang ranger Merbabu, Mas
Latif. Usai sholat Jum’at kami berangkat.
Wekas terkenal dengan jalur pendakian tercepat yang ada di Merbabu. Jadi
jelas kalau medannya bukan main-main. Dari basecame kami sudah
disajikan tanjakan yang melewati perkampungan dan hutan lebat. Kupikir
tanjakan ini akan berhenti sampai batas pemukiman terakhir tapi ternyata
tanjakan ini terus menggerogoti nafasku yang mulai tersendat.
Di pos 1 kami istirahat sejenak selama 30 menit. Kami lanjutkan
perjalanan lagi. “Tanjakan lagi… tanjakan lagi,” begitu teriak hatiku
yang mulai mengeluh. Aku sadari perjalan menuju pos 2 masih jauh, tapi
rasanya tubuh ini ingin berhenti di sini saja. Semua mulai beranjak
berjalan lagi dan akupun mengikutinya. Sekitar 2 jam kami bejalan
akhirnya sampai di Pos 2. Dan di sinilah kami harus mendirikan
persinggahan kami untuk bermalam.
Sebelum pejamkan mata di antara semak-semak pos 2, kami memasak nasi
untuk mengembalikan tenaga kami yang terkuras selama perjalanan. Mata
terpejam dan jam empat pagi kami harus terbangun dari mimpi kami dan
bersiap taklukkan puncak yang telah menanti kedatangan kami.
Kondisi yang masih gelap, aku berjalan sempoyongan sambil menahan kantuk
yang masih menempel dalam kelopak mata. Angin yang kencang dan
dinginnya menyapa tulang-tulangku. Sendi-sendi pun bergetar menahan
dingin dan ingat rutenya masih menyajikan tanjakan yang tak terhenti.
Setitik matahari mulai tampak dan senyum merekah mulai mewarnai
perjalanan kawan-kawan saya, tapi matahari itu hanya sebantar menyapa
kami, kondisi kembali agak gelap, Kabut datang dengan tebal dan angin
bertiup tanpa kompromi, kencang… sangat kencang, sinar matahari hanya
terlihat samar-samar dalam pandangan saya.
Ulah kabut dan angin ribut ini mengacaukan pandangan kami, 5 meter oh
bukan mungkin pandangan mata kami Cuma berjarak 2 meter, sesekali aku
bersembunyi di balik tebing dari serbuhan badai yang sangat kencang,
bahkan aku melihat Dayak wajahnya berubah pucat dan lemas, ternyata dia
terserang masuk angin, tapi ribuan jempol aku acuhkan buat anak-anak
pesisir ini, tak seorangpun mengatakan mundur, justru mereka melawan
kabut tebal dan badai yang mengancam kami untuk turun, oh ya aku sampai
lupa bilang dari Basecame sampai perjalanan ke puncak kami di ikuti dua
anak dari Jakarta yakni Ardi dan Ilham, juga dua anak dari Bogor yakni
Raphael dan Rina, ditengah kabut tebal dan angin yang ribut Rina sempat
putus asa ingin kembali turun tapi anak-anak PAUS dan ANPAL memberikan
support pada Rina sehingga dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Jembatan Setan, dari namanya sudah mengerikan, tapi memang benar. Ini
adalah jalan yang harus kami lalui, kami harus berjalan miring di tebing
sepanjang 10 meter, sementara di bawah kami sudah menanti jurang
sedalam 15-20 meter dengan batu-batu tajam yang siap menusuk tubuh kami
andai kami terjatuh ke jurang. Kulihat wajah anak-anak mulai menunjukkan
wajah takut, termasuk saya yang sibuk mendokumentasikan momen-momen
mulai dari awal perjalanan. Lega rasanya Jembatan Setan terlewati dengan
lancar, tapi kabut dan badai belum juga hilang, begitu juga dengan
tanjakan-tanjakan.
Usai jembatan setan kami terus berjalan menanjak, merangkak bersama
tebing-tebing tajam dan tanah yang licin untuk mencapai Puncak
Kentengsongo. Kabut dan badai belum juga mau berhenti, bahkan sempat
membuat frustasi beberapa kawan saya yang ingin melihat matahari dari
puncak. Melewati jalan menanjak yang panjang dan licin akhirnya sampai
pada Puncak Kentengsongo, tapi kabut tebal belum juga mau hilang. Namun
lambat laut kabut tebal itu menghilang. Sinar matahari muncul
menghangatkan badan bahkan Dayak yang awal perjalanan terlihat lemas dan
pucat tiba-tiba sehat kembali, sepertinya Tuhan ingin menunjukkan
sesuatu di atas ketinggian 3.142 mdpl ini.
Mataku tercengang, urat nadiku seakan berhenti, aku melihat keindahan
dari atas ouncak. Aku berlari ke arah Puncak Trianggulasi yang lebih
tinggi. Kulihat masih ada kabut tebal yang mengelompok, tapi kemudian
berangsur-angsur pergi dan ini yang membuatku tak bisa berkata apa-apa.
Aku ditunjukkan dengan jelas bentuk merapi yang sedang erupsi, indah
banget, menoleh ke sisi yang lain ada Gunung Sindoro, Sumbeng dan Slamet
yang mengucapkan selamat atas usahaku menginjakan kaki di puncak
tertinggi Gunung Merbabu. Ternyata Tuhan sembunyikan nikmatnya di balik
tanjakan, badai dan kabut yang berhasil kami lalui. Selamat kawan, bekas
telapak kakimu ada di puncak tertinggi Gunung Merbabu.
Jangan ambil apapun selain foto
Jangan tinggalkan apapun selain jejak
Jangan bunuh apapun selain waktu
~ Salam Rimba ~
(Enha)