Template by:
Free Blog Templates

Monday, May 26, 2014

Nikmat di Balik Tanjakan, Badai dan Kabut

Kamis, 15 Mei 2014. Tujuh orang dari Desa Pesisir Bulu yang tergabung dalam Pecinta Alam Ujas-ujus (PAUS) dan Anak Nelayan Pecinta Alam (ANPAL) berangkat bersama sama menuju ke kota Bunga, Magelang.
Dua anak sudah menunggu kami di kota itu. Setelah melakukan perjalanan kurang lebih 8 jam, akhirnya sekitar pukul enam sore kami berkumpul di terminal Magelang. Kesembilan anak itu adalah Solik, Dayak, Solikan, Jojon, Impong, Doyok, Oling, Mundir dan saya sendiri Cumpon. Tapi ini bukan peserta yang sebenarnya karena masih ada tiga orang lagi yang belum kumpul.
Sembilan orang ini terpaksa berangkat lebih dulu menuju arah Wekas, gerbang masuk menuju Gunung Merbabu. Jalan beraspal menuju arah basecame mengalami kendala, rusak parah, sehingga memaksa kami harus turun dari mobil dan terpaksa berjalan. Untung waktu itu malam gelap, sehingga kami tak tahu medan yang kami lalui. Kami hanya bisa merasakan beban berat yang terdapat dalam carier kami dan harus kami pikul sampai ke basecame. Sekitar 6-7 kilometer kami baru sampai basecame, Melewati pos pendaftaran kami melakukan registrasi sebesar Rp 4000 per anak.
Masuk basecame dan istirahat semalam untuk memanjakan diri setelah berjalan menanjak sejauh 6-7 kilometer dengan beban yang bersandang di punggung kami. Jum’at pagi tiga orang kawan yang kami tunggu akhirnya datang. Mereka adalah Yon, Devi dan satu orang ranger Merbabu, Mas Latif. Usai sholat Jum’at kami berangkat.
Wekas terkenal dengan jalur pendakian tercepat yang ada di Merbabu. Jadi jelas kalau medannya bukan main-main. Dari basecame kami sudah disajikan tanjakan yang melewati perkampungan dan hutan lebat. Kupikir tanjakan ini akan berhenti sampai batas pemukiman terakhir tapi ternyata tanjakan ini terus menggerogoti nafasku yang mulai tersendat. 
Di pos 1 kami istirahat sejenak selama 30 menit. Kami lanjutkan perjalanan lagi. “Tanjakan lagi… tanjakan lagi,” begitu teriak hatiku yang mulai mengeluh. Aku sadari perjalan menuju pos 2 masih jauh, tapi rasanya tubuh ini ingin berhenti di sini saja. Semua mulai beranjak berjalan lagi dan akupun mengikutinya. Sekitar 2 jam kami bejalan akhirnya sampai di Pos 2. Dan di sinilah kami harus mendirikan persinggahan kami untuk bermalam.
Sebelum pejamkan mata di antara semak-semak pos 2, kami memasak nasi untuk mengembalikan tenaga kami yang terkuras selama perjalanan. Mata terpejam dan jam empat pagi kami harus terbangun dari mimpi kami dan bersiap taklukkan puncak yang telah menanti kedatangan kami.
Kondisi yang masih gelap, aku berjalan sempoyongan sambil menahan kantuk yang masih menempel dalam kelopak mata. Angin yang kencang dan dinginnya menyapa tulang-tulangku. Sendi-sendi pun bergetar menahan dingin dan ingat rutenya masih menyajikan tanjakan yang tak terhenti. Setitik matahari mulai tampak dan senyum merekah mulai mewarnai perjalanan kawan-kawan saya, tapi matahari itu hanya sebantar menyapa kami, kondisi kembali agak gelap, Kabut datang dengan tebal dan angin bertiup tanpa kompromi, kencang… sangat kencang, sinar matahari hanya terlihat samar-samar dalam pandangan saya.
Ulah kabut dan angin ribut ini mengacaukan pandangan kami, 5 meter oh bukan mungkin pandangan mata kami Cuma berjarak 2 meter, sesekali aku bersembunyi di balik tebing dari serbuhan badai yang sangat kencang, bahkan aku melihat Dayak wajahnya berubah pucat dan lemas, ternyata dia terserang masuk angin, tapi ribuan jempol aku acuhkan buat anak-anak pesisir ini, tak seorangpun mengatakan mundur, justru mereka melawan kabut tebal dan badai yang mengancam kami untuk turun, oh ya aku sampai lupa bilang dari Basecame sampai perjalanan ke puncak kami di ikuti dua anak dari Jakarta yakni Ardi dan Ilham, juga dua anak dari Bogor yakni Raphael dan Rina, ditengah kabut tebal dan angin yang ribut Rina sempat putus asa ingin kembali turun tapi anak-anak PAUS dan ANPAL memberikan support pada Rina sehingga dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Jembatan Setan, dari namanya sudah mengerikan, tapi memang benar. Ini adalah jalan yang harus kami lalui, kami harus berjalan miring di tebing sepanjang 10 meter, sementara di bawah kami sudah menanti jurang sedalam 15-20 meter dengan batu-batu tajam yang siap menusuk tubuh kami andai kami terjatuh ke jurang. Kulihat wajah anak-anak mulai menunjukkan wajah takut, termasuk saya yang sibuk mendokumentasikan momen-momen mulai dari awal perjalanan. Lega rasanya Jembatan Setan terlewati dengan lancar, tapi kabut dan badai belum juga hilang, begitu juga dengan tanjakan-tanjakan. 
Usai jembatan setan kami terus berjalan menanjak, merangkak bersama tebing-tebing tajam dan tanah yang licin untuk mencapai Puncak Kentengsongo. Kabut dan badai belum juga mau berhenti, bahkan sempat membuat frustasi beberapa kawan saya yang ingin melihat matahari dari puncak. Melewati jalan menanjak yang panjang dan licin akhirnya sampai pada Puncak Kentengsongo, tapi kabut tebal belum juga mau hilang. Namun lambat laut kabut tebal itu menghilang. Sinar matahari muncul menghangatkan badan bahkan Dayak yang awal perjalanan terlihat lemas dan pucat tiba-tiba sehat kembali, sepertinya Tuhan ingin menunjukkan sesuatu di atas ketinggian 3.142 mdpl ini.
Mataku tercengang, urat nadiku seakan berhenti, aku melihat keindahan dari atas ouncak. Aku berlari ke arah Puncak Trianggulasi yang lebih tinggi. Kulihat masih ada kabut tebal yang mengelompok, tapi kemudian berangsur-angsur pergi dan ini yang membuatku tak bisa berkata apa-apa. Aku ditunjukkan dengan jelas bentuk merapi yang sedang erupsi, indah banget, menoleh ke sisi yang lain ada Gunung Sindoro, Sumbeng dan Slamet yang mengucapkan selamat atas usahaku menginjakan kaki di puncak tertinggi Gunung Merbabu. Ternyata Tuhan sembunyikan nikmatnya di balik tanjakan, badai dan kabut yang berhasil kami lalui. Selamat kawan, bekas telapak kakimu ada di puncak tertinggi Gunung Merbabu.
Jangan ambil apapun selain foto
Jangan tinggalkan apapun selain jejak
Jangan bunuh apapun selain waktu
~ Salam Rimba ~
(Enha)